Mengapa Juara Marathon Banyak Berasal dari Kenya ?
March 4th, 2018 Posted by Author Sport Edu 0 thoughts on “Mengapa Juara Marathon Banyak Berasal dari Kenya ?”
GRACE SINAGA
Mahasiswa Kedokteran UNPAD
Afrika Timur saat ini mendominasi bidang atletik lari jarak menengah dan jarak jauh. Bukan kebetulan atau suratan takdir jika 31 pelari maraton putra tercepat dunia berasal dari hanya dua negara Afrika bertetangga: Kenya dan Etiopia. Dua negara ini semacam pabrik alami penghasil pelari-pelari jarak menengah dan jauh kelas dunia, termasuk maraton. Sejak Olimpiade Roma pada tahun 1960, yakni tahun kemenangan maraton kulit hitam Afrika pertama, banyak penelitian yang membahas alasan-alasan dibalik dominansi orang Afrika di bidang atletik lari. Mulai dari penelitian yang membahas mengenai faktor fisiologis dan anatomis, sampai faktor sosial dan budaya tradisional Afrika Timur pun ikut yang disebut-sebut sebagai salah satu faktor kemenangan Afrika.
Dalam banyak kejuaraan lari tingkat dunia, orang Kenya mendominasi kemenangan lomba. Pemenang pertama sampai keempat kebanyakan berasal dari negara tersebut. Menurut data dari jaringan radio internasional NPR, ada 17 orang Amerika yang bisa berlari di bawah 2 menit 10 detik. Namun, ada 32 orang Kenya yang bisa lebih cepat dari itu. Ternyata, mereka berasal dari satu suku yang sama. Inilah Suku Kalenjin dari Lembah Rift Kenya, Afrika Timur, yang kecepatan larinya selalu di atas rata-rata manusia normal. Nilai-nilai antropometri suku Kalenjin sebagai gudangnya juara lari tingkat dunia, memang dinilai memiliki keistimewaan. Lalu, kira-kira apa yang membuat suku ini bisa berlari lebih cepat?
Komposisi tubuh. Menurut Grégoire Millet, pada dasarnya, performa seorang atlet bisa diuraikan dalam tiga kriteria: konsumsi oksigen maksimal (VO2max), kapasitas untuk mempertahankan tingkat VO2max, dan output (power / VO2). Hanya pada kriteria terakhir ini, orang Afrika Timur memiliki keuntungan yang jelas. Mereka memiliki bentuk kaki yang ramping dan tinggi, betis fusiform dan ringan (sampai 400 gram kurang per betis), dan tendon tungkak yang lebih panjang, yang memungkinkan mereka menyimpan energi untuk memproduksinya pada saat impulsi. Gerakan ini disebut “stretch shortening cycle”. Gerakan gerakan yang berulang jauh lebih mudah. Grégoire Millet juga menilai, massa lemak pelari Afrika sangat rendah dan, karena ukurannya yang kecil dan ketipisannya, secara logika dapat disimpukan beban yang mereka bawa pun lebih ringan. Selain itu, atlet ini memiliki diet sederhana, seimbang. Mereka tidak overindulging dan jarang dari mereka yang memiliki masalah dengan obesitas.
Genetik. Pada tahun 1988, orang-orang Nandi (salah satu dari tujuh suku yang membentuk kelompok yang lebih besar yang dikenal sebagai Kalenjin), terdiri dari 1,8% populasi Kenya namun memasok 42,1% pelari elit negara. Namun, seiring dengan terjadinya perkawinan silang antar suku Kalenjin, sepertinya tidak hanya gen Nandi yang terlibat. Beberapa peneliti menggambarkan etnis Kalenjin ini sebagai manusia dengan masa badan yang kecil dan badan yang tinggi, kaki panjang dan ramping. Di lain sisi, belum ada bukti konklusif mengenai keuntungan genetik yang diwariskan orang Afrika, sehingga banyak yang mempertanyakan dan menyebut faktor genetik ini sebagai mitos belaka, sebab Kenya pun baru meraih gelar juara di awal tahun 1990, sementara tahun 1980 masih didominasi oleh Bangsa Eropa.
Altitude training. Kita mungkin sering melihat frasa “altitude training’ ketika membaca tentang atlet tertentu. Dalam hal ini, Kenya diuntungkan dengan kondisi geografis yang berupa dataran tinggi. Altitude training, atau berlatih di dataran tinggi, dengan ketinggian 6.000 sampai 10.000 kaki (1.500 sampai 3.000 meter) diatas permukaan laut, memberikan efek seperti doping yang legal, yakni kemampuan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pembawa oksigen. Tekanan oksigen yang rendah di dataran tinggi, membuat latihan terasa lebih berat dan intens. Proses adaptasi tubuh berlangsung hampir seketika. Tingkat EPO (erythropoietin), hormon yang menstimulasi produksi sel darah merah, melonjak ke batas maksimum dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam sejak kita tiba di dataran tinggi. Studi terhadap atlet elit menunjukan level hemoglobin – protein dalam sel darah merah yang mengantarkan oksigen – dapat meningkat sekitar 1% per minggu saat kita berada di dataran tinggi. Itulah sebabnya pelari-pelari elit dunia seperti Mo Farah pergi ke Iten, Kenya, untuk berlatih. Bahkan pelatih legendaries Alberto Salazar memanfaatkan rumah tinggal yang dibangun khusus di Colorado, Amerika Serikat, dengan teknologi pengontrol tekanan udara untuk mensimulasikan keadaan altitude bagi atlet-atlet Nike Oregon Project bimbingannya.
Lingkungan tempat berlatih. Ada lima kamp pemusatan latihan lari yang terkenal di Kenya: Iten, Ngong, Nyahururu, Embu, dan Nanyuki. Kelima kamp itu memiliki karakteristik dan kegunaan khusus. Iten, Ngong, dan Nyahururu yang berada di daerah ketinggian, misalnya, cocok untuk menempa kemampuan lari di jalan raya (road race). Embu dan Nanyuki di lokasi dataran lebih rendah pas untuk memoles kegesitan berlari di jalur trek. ”Banyak pelari Jepang berlatih di Nyahururu. Kira-kira ada ratusan,” kata Joseph. Dari kelima kamp tersebut, Iten kerap disebut media massa internasional. Daerah itu berada di ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut, sehingga Iten tempat sangat bagus untuk berlatih. Lokasinya di daerah ketinggian. Begitu banyak atlet top level berlatih di sana dan tampil sangat bagus. Berdasarkan laporan sejumlah media, tidak ada fasilitas istimewa di Iten dan kamp-kamp pelatihan lari di Kenya. Lintasan lari untuk latihan berupa tanah berdebu. Jika disiram hujan, lintasan itu langsung tergenang, sepatu penuh lumpur itu justru melatih kekuatan kaki.
Sosial budaya. Di Eropa, jumlah juara yang rendah juga dijelaskan oleh faktor sosial budaya. Pilihan dan keragaman olahraga yang ada mengorientasikan anak-anak Eropa ke arah sepak bola, bermain ski atau menari. Oleh karena itu, Bangsa Eropa memiliki kumpulan atlet yang jauh lebih kecil daripada di Afrika Timur, di mana lari tetap merupakan olahraga yang mudah dijangkau dan satu-satunya cara untuk sukses. Selain itu, di Kenya mulai dari SD hingga perguruan tinggi ada kompetisi lari di tingkat daerah hingga tingkat nasional.
Uniknya, faktor tradisi sunat suku Kalenjin juga disebut-sebut sebagai salah satu faktor keunggulan mereka. Perbedaan sunat di sana, sunatnya sangat menyakitkan. Bagi anak laki-laki, proses sunat biasanya berlangsung saat mereka berumur belasan tahun. Mereka harus telanjang, jalan merangkak dan kelaminnya dibungkus oleh daun beracun. Itu baru pemanasan saja. Setelah itu, kelamin anak laki-laki ini pun disunat, dengan menggunakan kayu atau bambu tajam. Nah, selama prosesi yang super panjang dan menyakitkan ini, mereka tidak diperbolehkan bersuara. Dari sumber lain menyebutkan, anak yang disunat, wajahnya akan dilumuri lumpur sampai kering. Jika sampai terlihat ada retakan di wajahnya, akibat rasa sakit, ia pun akan mendapat julukan pengecut selama seumur hidupnya. Setelah disunat, para anak laki-laki ini tidak boleh lagi tinggal di rumah. Mereka tinggal di pondokan. Setiap keluar dari pondokan, mereka tidak boleh jalan. Apa saja, asal jangan berjalan. Pilihan yang paling masuk akal adalah lari. Dari sanalah hadir bibit-bibit pelari tangguh di dunia, yang punya kemampuan lari secepat angin. Tradisi ini juga berlaku untuk para wanita. Karena mereka juga ada tradisi disunat.
Psikologis. Ada lagi hal paling aneh di lakukan oleh orang Afrika Timur. Untuk membangun mental positif, pada saat sebelum tidur, mereka selalu mengalungkan medali emas di leher, agar pada saat bangun pagi keesokan harinya, hal petama yang dibayangkan adalah bagaimana perasaan mereka saat melitasi daris finish sebagai urutan pertama.
Meskipun banyak peneliti dan para ahli yang berusaha mengungkap keunggulan Afrika Timur, menurut Mo Farah, pelari papan atas dunia asal Inggris yang sering berlatih di Kenya ketika menghadapi ajang penting, ada faktor yang lebih rasional di balik rahasia ketangguhan pelari Kenya. ”Yang membuka mata saya adalah betapa disiplin mereka dan betapa kerasnya mereka berlatih,” ujar Mo, seperti dikutip situs resmi Seri Utama Maraton Dunia (World Marathon Majors).
Ngare Joseph, salah satu pelari Kenya mengatakan, ”Rahasianya adalah berlatih secara serius. Tidak ada hal lain kecuali berlatih dan berlatih.” Dalam sehari pelari Kenya dapat berlatih sampai 50 kilometer, jadi dengan kata lain lomba marathon yang berjarak 42,195 km sudah menjadi makanan sehari-hari.
Bagaimana atletik Indonesia, mau meniru mereka?




Di tengah kemajuannya, dunia sepakbola memang masih menyelipkan fakta-fakta menyedihkan yang meyayat hati. Tidak semua pemain sepakbola mampu hidup dalam dunia gemerlap yang sangat mewah. Tidak sedikit diantara mereka yang harus hidup dalam tekanan. Hal ini tentu membuat mereka tidak bisa menikmati hidup yang seharusnya menyenangkan tersebut.
Water Break adalah sebuah istilah dalam dunia sepakbola yang semakin popular dan familiar bagi masyarakat pecinta sepakbola tanah air. Peraturan Water Break ini mulai secara resmi diberlakukan pada Piala Dunia Brazil 2014 lalu atas permintaan Pelatih tim nasional Italia, Cesare Prandelli. Ia meminta agar Water Break diberlakukan mengingat kondisi cuaca panas dan lembab akan menyulitkan para pemain Eropa yang terbiasa bermain dalam kondisi iklim yang dingin, sehingga mereka rentan mengalami dehidrasi.