Posts in Sport Science

Mengapa Juara Marathon Banyak Berasal dari Kenya ?

March 4th, 2018 Posted by Sport Edu 0 thoughts on “Mengapa Juara Marathon Banyak Berasal dari Kenya ?”

GRACE SINAGA

Mahasiswa Kedokteran UNPAD

Afrika Timur saat ini mendominasi bidang atletik lari jarak menengah dan jarak jauh. Bukan kebetulan atau suratan takdir jika 31 pelari maraton putra tercepat dunia berasal dari hanya dua negara Afrika bertetangga: Kenya dan Etiopia. Dua negara ini semacam pabrik alami penghasil pelari-pelari jarak menengah dan jauh kelas dunia, termasuk maraton. Sejak Olimpiade Roma pada tahun 1960, yakni tahun kemenangan maraton kulit hitam Afrika pertama, banyak penelitian yang membahas alasan-alasan dibalik dominansi orang Afrika di bidang atletik lari. Mulai dari penelitian yang membahas mengenai faktor fisiologis dan anatomis, sampai faktor sosial dan budaya tradisional Afrika Timur pun ikut yang disebut-sebut sebagai salah satu faktor kemenangan Afrika.

Dalam banyak kejuaraan lari tingkat dunia, orang Kenya mendominasi kemenangan lomba. Pemenang pertama sampai keempat kebanyakan berasal dari negara tersebut. Menurut data dari jaringan radio internasional NPR, ada 17 orang Amerika yang bisa berlari di bawah 2 menit 10 detik. Namun, ada 32 orang Kenya yang bisa lebih cepat dari itu. Ternyata, mereka berasal dari satu suku yang sama. Inilah Suku Kalenjin dari Lembah Rift Kenya, Afrika Timur, yang kecepatan larinya selalu di atas rata-rata manusia normal. Nilai-nilai antropometri suku Kalenjin sebagai gudangnya juara lari tingkat dunia, memang dinilai memiliki keistimewaan. Lalu, kira-kira apa yang membuat suku ini bisa berlari lebih cepat?

Komposisi tubuh. Menurut Grégoire Millet, pada dasarnya, performa seorang atlet bisa diuraikan dalam tiga kriteria: konsumsi oksigen maksimal (VO2max), kapasitas untuk mempertahankan tingkat VO2max, dan output (power / VO2). Hanya pada kriteria terakhir ini, orang Afrika Timur memiliki keuntungan yang jelas. Mereka memiliki bentuk kaki yang ramping dan tinggi, betis fusiform dan ringan (sampai 400 gram kurang per betis), dan tendon tungkak yang lebih panjang, yang memungkinkan mereka menyimpan energi untuk memproduksinya pada saat impulsi. Gerakan ini disebut “stretch shortening cycle”. Gerakan gerakan yang berulang jauh lebih mudah. Grégoire Millet juga menilai, massa lemak pelari Afrika sangat rendah dan, karena ukurannya yang kecil dan ketipisannya, secara logika dapat disimpukan beban yang mereka bawa pun lebih ringan. Selain itu, atlet ini memiliki diet sederhana, seimbang. Mereka tidak overindulging dan jarang dari mereka yang memiliki masalah dengan obesitas.

Genetik. Pada tahun 1988, orang-orang Nandi (salah satu dari tujuh suku yang membentuk kelompok yang lebih besar yang dikenal sebagai Kalenjin), terdiri dari 1,8% populasi Kenya namun memasok 42,1% pelari elit negara. Namun, seiring dengan terjadinya perkawinan silang antar suku Kalenjin, sepertinya tidak hanya gen Nandi yang terlibat. Beberapa peneliti menggambarkan etnis Kalenjin ini sebagai manusia dengan masa badan yang kecil dan badan yang tinggi, kaki panjang dan ramping.  Di lain sisi, belum ada bukti konklusif mengenai keuntungan genetik yang diwariskan orang Afrika, sehingga banyak yang mempertanyakan dan menyebut faktor genetik ini sebagai mitos belaka, sebab Kenya pun baru meraih gelar juara di awal tahun 1990, sementara tahun 1980 masih didominasi oleh Bangsa Eropa.

Altitude training. Kita mungkin sering melihat frasa “altitude training’ ketika membaca tentang atlet tertentu. Dalam hal ini, Kenya diuntungkan dengan kondisi geografis yang berupa dataran tinggi. Altitude training, atau berlatih di dataran tinggi, dengan ketinggian 6.000 sampai 10.000 kaki (1.500 sampai 3.000 meter) diatas permukaan laut, memberikan efek seperti doping yang legal, yakni kemampuan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pembawa oksigen. Tekanan oksigen yang rendah di dataran tinggi, membuat latihan terasa lebih berat dan intens. Proses adaptasi tubuh berlangsung hampir seketika. Tingkat EPO (erythropoietin), hormon yang menstimulasi produksi sel darah merah, melonjak ke batas maksimum dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam sejak kita tiba di dataran tinggi. Studi terhadap atlet elit menunjukan level hemoglobin – protein dalam sel darah merah yang mengantarkan oksigen – dapat meningkat sekitar 1% per minggu saat kita berada di dataran tinggi. Itulah sebabnya pelari-pelari elit dunia seperti Mo Farah pergi ke Iten, Kenya, untuk berlatih. Bahkan pelatih legendaries Alberto Salazar memanfaatkan rumah tinggal yang dibangun khusus di Colorado, Amerika Serikat, dengan teknologi pengontrol tekanan udara untuk mensimulasikan keadaan altitude bagi atlet-atlet Nike Oregon Project bimbingannya.

Lingkungan tempat berlatih. Ada lima kamp pemusatan latihan lari yang terkenal di Kenya: Iten, Ngong, Nyahururu, Embu, dan Nanyuki. Kelima kamp itu memiliki karakteristik dan kegunaan khusus. Iten, Ngong, dan Nyahururu yang berada di daerah ketinggian, misalnya, cocok untuk menempa kemampuan lari di jalan raya (road race). Embu dan Nanyuki di lokasi dataran lebih rendah pas untuk memoles kegesitan berlari di jalur trek. ”Banyak pelari Jepang berlatih di Nyahururu. Kira-kira ada ratusan,” kata Joseph. Dari kelima kamp tersebut, Iten kerap disebut media massa internasional. Daerah itu berada di ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut, sehingga Iten tempat sangat bagus untuk berlatih. Lokasinya di daerah ketinggian. Begitu banyak atlet top level berlatih di sana dan tampil sangat bagus. Berdasarkan laporan sejumlah media, tidak ada fasilitas istimewa di Iten dan kamp-kamp pelatihan lari di Kenya. Lintasan lari untuk latihan berupa tanah berdebu. Jika disiram hujan, lintasan itu langsung tergenang, sepatu penuh lumpur itu justru melatih kekuatan kaki.

Sosial budaya. Di Eropa, jumlah juara yang rendah juga dijelaskan oleh faktor sosial budaya. Pilihan dan keragaman olahraga yang ada mengorientasikan anak-anak Eropa ke arah sepak bola, bermain ski atau menari. Oleh karena itu, Bangsa Eropa memiliki kumpulan atlet yang jauh lebih kecil daripada di Afrika Timur, di mana lari tetap merupakan olahraga yang mudah dijangkau dan satu-satunya cara untuk sukses. Selain itu, di Kenya mulai dari SD hingga perguruan tinggi ada kompetisi lari di tingkat daerah hingga tingkat nasional.

Uniknya, faktor tradisi sunat suku Kalenjin juga disebut-sebut sebagai salah satu faktor keunggulan mereka. Perbedaan sunat di sana, sunatnya sangat menyakitkan. Bagi anak laki-laki, proses sunat biasanya berlangsung saat mereka berumur belasan tahun. Mereka harus telanjang, jalan merangkak dan kelaminnya dibungkus oleh daun beracun. Itu baru pemanasan saja. Setelah itu, kelamin anak laki-laki ini pun disunat, dengan menggunakan kayu atau bambu tajam. Nah, selama prosesi yang super panjang dan menyakitkan ini, mereka tidak diperbolehkan bersuara.  Dari sumber lain menyebutkan, anak yang disunat, wajahnya akan dilumuri lumpur sampai kering. Jika sampai terlihat ada retakan di wajahnya, akibat rasa sakit, ia pun akan mendapat julukan pengecut selama seumur hidupnya. Setelah disunat, para anak laki-laki ini tidak boleh lagi tinggal di rumah. Mereka tinggal di pondokan. Setiap keluar dari pondokan, mereka tidak boleh jalan. Apa saja, asal jangan berjalan. Pilihan yang paling masuk akal adalah lari. Dari sanalah hadir bibit-bibit pelari tangguh di dunia, yang punya kemampuan lari secepat angin. Tradisi ini juga berlaku untuk para wanita. Karena mereka juga ada tradisi disunat.

Psikologis. Ada lagi hal paling aneh di lakukan oleh orang Afrika Timur. Untuk membangun mental positif, pada saat sebelum tidur, mereka selalu mengalungkan medali emas di leher, agar pada saat bangun pagi keesokan harinya, hal petama yang dibayangkan adalah bagaimana perasaan mereka saat melitasi daris finish sebagai urutan pertama.

Meskipun banyak peneliti dan para ahli yang berusaha mengungkap keunggulan Afrika Timur, menurut Mo Farah, pelari papan atas dunia asal Inggris yang sering berlatih di Kenya ketika menghadapi ajang penting, ada faktor yang lebih rasional di balik rahasia ketangguhan pelari Kenya. ”Yang membuka mata saya adalah betapa disiplin mereka dan betapa kerasnya mereka berlatih,” ujar Mo, seperti dikutip situs resmi Seri Utama Maraton Dunia (World Marathon Majors).

Ngare Joseph, salah satu pelari Kenya mengatakan, ”Rahasianya adalah berlatih secara serius. Tidak ada hal lain kecuali berlatih dan berlatih.” Dalam sehari pelari Kenya dapat berlatih sampai 50 kilometer, jadi dengan kata lain lomba marathon yang berjarak 42,195 km sudah menjadi makanan sehari-hari.

Bagaimana atletik Indonesia, mau meniru mereka?

Cara Sederhana Selamatkan Korban Tertelan Lidah

March 4th, 2018 Posted by Sport Science 0 thoughts on “Cara Sederhana Selamatkan Korban Tertelan Lidah”

GRACE SINAGA

Mahasiswa Kedokteran UNPAD

Struktur Frenulum linguae, menghubungkan dan memfiksasi lidah ke dasar mulut.

Seperti banyak diinformasikan diberbagai website kesehatan, menelan ludah sebenarnya kondisi dimana lidah tidak pernah benar-benar tertelan. Jadi, istilah “lidah tertelan” itu adalah istilah yang keliru, kondisi yang sebenarnya adalah tergelincirnya bagian belakang lidah terhadap faring yang menyebabkan tersedak sehingga menutup jalur keluarnya nafas.  Meskipun begitu, istilah ini sudah dikenal luas di dunia medis sehingga masih terus digunakan hingga sekarang.

Dilansir oleh Health How Stuff Works, sebuah lidah tidak akan mungkin dapat tertelan, bila lidah tersebut tidak dipotong. Hal ini dikarenakan terdapat struktur penting di dalam sebuah mulut yang bernama frenulum linguae, yang dapat kita lihat ketika Anda menggerakkan lidah ke atas. Frenulum linguae merupakan jaringan yang menghubungkan antara dasar mulut dengan lidah. Oleh karenanya, lidah kita tidak akan pergi kemana-mana saat kita sedang bermain terjun payung, atau sedang melakukan handstand sekalipun.

Lantas, apa maksud dari ‘lidah tertelan’ saat kepala seorang pesepakbola mengalami benturan? Terjadinya ‘lidah tertelan’ disebabkan oleh benturan pada cerebellum, atau biasanya kita sebut dengan nama otak kecil. Sekedar informasi, otak kecil kita berguna untuk mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Apabila terjadi gangguan pada otak kecil, seperti benturan yang keras, maka dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Bila koordinasi gerak otot terganggu, maka akan memunculkan flasiditas (kelemahan untuk menahan secara pasif) pada lidah, terutama saat orang tersebut terbaring tidak sadarkan diri. Gagalnya otot menahan lidah, otomatis lidah akan menutup jalur pernapasan pada hulu kerongkongan, yang dapat mengakibatkan kematian bagi sang penderita. Pasalnya, bila hulu kerongkongan atau batang tenggorokan tertutup, maka orang tersebut tidak akan bisa bernapas, karena saluran pernapasan, entah melalui hidung atau mulut, akan melewati hulu kerongkongan.

Insiden tertelan lidah berpotensi terjadi pada olahraga dengan benturan fisik yang tinggi seperti tinju, rugbi, dan sepakbola.  Sebuah benturan ke daerah kepala, terutama dagu, bisa menyebabkan tergigitnya lidah hingga menyebabkan tidak sadarkan diri. Kondisi tidak sadar ini lah yang membuat lidah kemudian tertelan. Dalam beberapa kasus, tertelannya lidah juga bisa terjadi jika seseorang masih tersadar. Namun biasanya, meskipun hanya dalam hitungan milidetik, seseorang akan tak sadarkan diri yang menyebabkan melemasnya otot lidah ini yang membuat bagian belakang lidah menutup jalur pernapasan sehingga oksigen tidak dapat masuk.. Kekurangan supply oksigen inilah yang dapat menyebabkan kematian.

Insiden-insiden tertelannya lidah di sepakbola

Awal tahun lalu, tepatnya pada Jumat (03/03/17), Fernando Torres mengalami cedera di bagian kepalanya saat berduel udara dengan pemain Deportivo La Coruna, Alex Bergantinos, di menit 85. Sontak para pemain dari kedua kesebelasan langsung menghampiri Torres yang terkapar di lapangan. Mereka langsung memberi pertolongan pertama dengan cara mencegah supaya lidahnya tidak tertelan. Setelah mendapat penanganan dari tim medis, Torres pun langsung dibawa ke rumah sakit di Kota Madrid dn berangsur pulih.

Tidak lama sebelum kejadian yang menimpa Fernando Torres, penyerang berkebangsaan Togo, Francis Kone, mendapatkan begitu banyak sanjungan akibat aksi heroiknya menyelematkan Martin Berkovec. Dalam sebuah pertandingan Liga Utama Rep. Ceko antara Bohemians 1905 vs. 1. FC Slovacko, Berkovec tergeletak tak sadarkan diri setelah berbenturan dengan rekan setimnya sendiri. Kejadian ini membuat seisi stadion panik, tapi untuk Kone bergerak cepat memberi pertolongan pertama dengan teknik yang hampir sama dengan yang dilakukan Gabi terhadap Torres. Kone sendiri mengaku bahwa ini adalah bukan kali pertama ia memberi pertolongan pertama dalam sebuah pertandingan sepakbola. Selama menjadi seorang pemain, setidaknya ia pernah melakukan hal ini sebanyak empat. Sekali di Thailand, dua kali di Afrika, dan sekali di Ceko.

Kejadian serupa juga pernah terjadi pada 2014 lalu dalam sebuah pertandingan Liga Ukraina antara Dinamo Kyev melawan Dnipro. Dalam sebuah laporan, kapten Dinamo Oleg Gusev sempat tak sadarkan diri setelah berbenturan dengan kiper Dnipro, Denys Boyko. Leher Gusev terbentur lutut si kiper sehingga ia kesulitan bernapas, karena lidahnya tertelan dan menyumbat aliran pernapasan. Untung gelandang Dnipro Jaba Kankava bereaksi cepat. Ia langsung memasukkan jemarinya ke tenggorokan Gusev supaya suplai oksigen lancar. Meski jarinya sempat tergigit, Kankava mendapat apresiasi atas aksinya tersebut. Beberapa pemain Dinamo pun terlihat memberi ucapan terima kasih kepada pemain berkebangsaan Georgia itu.

Akhir tahun lalu dunia sepak bola Indonesia baru saja berduka cita dengan meninggalnya salah seorang penjaga gawang Persela Lamongan yang bernama Choirul Huda (38). Dokter ahli mengungkapkan penyebab meninggalnya Choirul Huda ini adalah kekurangan oksigen. Atau istilah medisnya Hypoxia. Hypoxia akibat benturan bukan hanya bisa terjadi pada atlet. tetapi juga kita semua. Hypoxia dapat menyebabkan hilang kesadaran, yang berujung pada melemasnya otot-otot, termasuk otot dasar lidah yang jatuh ke belakang sehingga jalan napas tertutup. Apa yang bisa kita pelajari dari kasus tertelannya lidah ini? Ya, kita harus belajar agar tidak terjadi lagi hal yang serupa.

Head tilt-chin lift’, tindakan utama saat terjadi lidah yang tertelan

Menjadi penolong pertama bukan masalah besar, tapi Anda perlu belajar pengetahuan dan keterampilan ini, mungkin tanpa kita sadari dan kita undang sendiri suatu hari nanti bisa membuat perbedaan dan menyelamatkan nyawa seseorang.

Untuk membuka kembali jalan nafas korban, kita harus melakukan intervensi fisik untuk mengangkat dan menggerakkan lidah keluar dari kerongkonganya. Cara yang digunakan untuk membuka jalan napas korban adalah dengan mengangkat kepala/dagu angkat, bahasa kerennya head tilt-chin lift. Tekniknya adalah dengan meletakkan wajah korban di permukaan yang keras, tempatkan satu tangan Anda di dahi korban sambil memegang bagian tulang dagu dengan yang lain. Miringkan kepala dan angkat dagu pada saat bersamaan. Cara ini akan mampu mengangkat lidah dan membuka jalan masuknya oksigen.

Saat Anda membuka jalan napas korban, Anda mungkin mendengar suara oksigen atau gas keluar dan / atau mungkin melihat cairan, muntah, atau buih melarikan diri dari mulut korban. Apapun yang diblokir dari lidah tertelan di trakea berpotensi akan lepas saat jalan napas dibuka. Jangan bingung dengan pernapasan seperti ini atau hentikan CPR jika ini terjadi. Jangan lupa panggil ambulans dan secara berkala periksa apakah korban masih bernafas.

Penting untuk diperhatikan yaitu, jangan sekali-kali menggunakan tangan sendiri untuk masuk ke dalam mulut korban dalam usaha menggerakkan lidah korban, karena ini bisa berakibat gerakan refleks korban untuk menggigit tangan penolong atau bahkan semakin membuat korban kesulitan dalam membuka jalur pernapasannya lagi melalui lidahnya. Hal di atas pernah terjadi saat insiden Oleg Gusev, kapten Dinamo Kiev, yang diselamatkan oleh Jaba Kankava, pemain Dnipro Dnipropetrovsk. Kankava berhasil menyelamatkan Gusev tetapi tangannya tergigit dengan keras oleh Gusev

 

Sangat sering tindakan sederhana melakukan keajaiban dan bisa menyelamatkan nyawa manusia yang berpotensi berumur lebih panjang apabila kita bisa atau mengerti bagaimana cara menolongnya. Dalam hal ini, hanya rasa tanggung jawab dan sedikit keberanian pada saat kritis seperti ini. Semoga kasus Choriul Huda dan pesepakbola lain yang menjadi “korban” tertelan lidah, bisa memberikan pelajaran penting, khususnya bagi insan olahraga di Indonesia.

Mengenang Akhir Tragis Depresi Pesepakbola Robert Enke

February 20th, 2018 Posted by Sport Edu 0 thoughts on “Mengenang Akhir Tragis Depresi Pesepakbola Robert Enke”

GRACE SINAGA

Mahasiswa Kedokteran UNPAD

Di tengah kemajuannya, dunia sepakbola memang masih menyelipkan fakta-fakta menyedihkan yang meyayat hati. Tidak semua pemain sepakbola mampu hidup dalam dunia gemerlap yang sangat mewah. Tidak sedikit diantara mereka yang harus hidup dalam tekanan. Hal ini tentu membuat mereka tidak bisa menikmati hidup yang seharusnya menyenangkan tersebut.

Menurut Direktur Medis FIFPro Vincent Gouttebarge, rasa depresi di kalangan pesepakbola itu sangatlah rentan. Pasalnya pemain sepakbola merupakan salah satu profesi yang mendapatkan tekanan dari massa yang sangat besar. Ditambah lagi, sorotan berbagai media membuat tekanan yang mereka alami semakin besar. Hal ini membuat pemain sepakbola sangat rentan mengalami kecemasan-kecemasan. Apalagi bagi para pemain muda, tidak sedikit pemain muda berbakat yang harus gagal dalam karirnya akibat tidak bisa menghadapi tekanan media. Karena itulah, mental menjadi faktor penting bagi pemain sepakbola.

Dalam studi yang dilakukan oleh asosiasi pesepak bola profesional, FIFPro, sebanyak 38 persen dari 607 pemain yang mereka wawancara memiliki masalah depresi dan kesehatan mental. Depresi itu paling banyak  khususnya setelah mereka baru saja mendapatkan cedera serius. Penelitian FIFPro itu melibatkan para pemain dan mantan pemain di 11 negara dari tiga benua. Hasilnya memang menunjukkan masalah mental merupakan ancaman tersendiri bagi dunia sepak bola.

Pasalnya, temuan FIFPro menunjukkan 38 persen dari 607 pemain aktif dan 35 persen dari 219 mantan pemain menunjukkan mereka mengalami gejala depresi. Gejala itu berupa kesulitan tidur (23 persen pemain dan 28 persen mantan pemain), stres (15 persen pemain dan 18 persen mantan pemain), hingga penggunaan minuman beralkohol untuk mengatasi depresi (9 persen pemain dan 25 persen mantan pemain). Selain itu para pemain yang mengalami cedera lebih dari tiga kali atau cedera panjang cenderung dua hingga empat kali lebih besar berisiko terseret dalam jurang depresi. FIFPro menyatakan pemublikasian hasil penelitian itu ditujukan agar muncul kesadaran dalam dunia sepak bola untuk menangani secara dini atas risiko masalah mental pesepak bola.

Gangguan mental para pemain sepakbola menjadi sesuatu mimpi buruk bagi yang masih merumput maupun gantung sepatu. Sepakbola Jerman sempat dihebohkan dengan aksi bunuh diri Robert Enke pada tahun 2009.

Sebenarnya, apa faktor yang membuat Enke depresi diam-diam hingga memutus nyawanya sendiri ?

Mungkin kematian Robert Enke adalah tragedi yang paling mengenaskan. Kiper tim nasional Jerman dan klub Hannover 96, meninggal dunia setelah menabrakkan dirinya ke depan kereta yang melaju 160 km/jam di perlintasan Neustadt am Rubenberge, Jerman. Mendengar berita itu semua orang dunia pasti bertanya-tanya kenapa Robert Enke nekat melakukan itu? Padahal selama ini tidak pernah ada berita miring tentang calon kiper nomor satu Jerman di Piala Dunia 2010 ini. Hidupnya juga terlihat baik-baik saja. Karirnya terlihat semakin menanjak. Pemain berusia 32 tahun ini dianggap berada dalam puncak permainan terbaiknya. Berita sempat berhembus kemungkinan dia akan pindah ke Bayern Munich. Robert juga dinobatkan sebagai kiper terbaik 2008-2009. Jelas sekali tidak ada masalah dengan karirnya. Dia juga punya istri yang cantik, rumah dan mobil yang bagus. Apa lagi yang kurang dalam hidupnya?

Momen-momen kunci dalam hidup Enke itu terekam apik dalam buku biografi berjudul ‘A Life Too Short: A Tragic Story of Robert Enke’. Buku ini ditulis oleh jurnalis Jerman, Ronald Reng, Alur di buku A Life Too Short menempatkan kisah hidup Robert Enke ini sebagai seorang pria dipuja-puji publik tapi sebenarnya jauh di lubuk hati ia merasa kesepian.

Depresi berkepanjangan yang melanda hidup Enke disinyalir bermula dari hari-hari buruknya ketika memperkuat Barcelona pada musim panas 2000. Namun, ternyata keputusan pindah ke Barcelona adalah mimpi terburuk dalam kariernya. Enke gagal beradaptasi dengan gaya bermain yang pada saat itu mulai dikembangkan Barcelona, yaitu serangan yang dibangun dari kaki ke kaki dimulai dari penjaga gawang. Dipicu oleh penampilan buruknya ketika Blaugrana kalah memalukan dari Novelda di Copa del Rey dengan skor 2-3, pelatih Louis van Gaal marah besar dan memarkir Enke sebagai kiper saat itu juga sampai musim selesai.

Sebagai seorang kiper, Enke pernah beberapa kali menjadi korban penghinaan yang mana membuatnya merasa sulit untuk menghadapinya. Seperti saat Enke akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran pertandingan pertamanya bersama klub Turki, Fenerbahce, pada tahun 2003, di mana fans melemparinya dengan ponsel dan botol bir setelah dia melakukan kesalahan saat bertanding. Setelah kejadian itu, Enke, mengatakan dia sangat terkejut dengan kemarahan yang dia terima dan merasa tidak sepatutnya mendapatkan kebencian itu.

Tak sukses saat berkarir di Barcelona, Fenerbahce dan Tenerife, Enke membangun karirnya lagi setelah pulang kampung ke Hannover di tahun 2004. Ia bahkan sempat masuk nominasi kiper Jerman untuk Piala Dunia 2006. Gagal menembus skuad Juergen Klinsmann, Enke berhasil meyakinkan pelatih berikutnya, Joachim Loew. Walaupun tidak dimainkan sama sekali, tapi ia terdaftar di dalam skuad Der Panzer di Euro 2008. Bahkan, setelah Jens Lehmann pensiun dari ajang internasional, kesempatan Enke untuk menjadi kiper nomor satu Jerman terbuka lebar, apalagi ia terpilih sebagai penjaga gawang terbaik Bundesliga musim 2008-2009.

Namun siapa sangka, saat itu pula Enke memendam depresi sejak tahun 2003, dan masalah kesehatan mentalnya semakin serius ketika anak perempuannya yang bernama Lara, meninggal dunia di tahun 2006, dalam usia 2 tahun karena gagal jantung. Enke kemudian dilanda perasaan bersalah, namun berusaha menutupinya dengan malang melintang berkarier di Portugal, Spanyol, Turki, hingga kembali ke Jerman. Kondisinya sempat membaik, namun pada September 2009 ia menderita radang usus sehingga membuat depresinya kambuh. Tanpa disangka, rasa nestapa yang kian memuncak itu menggiringnya kepada aksi nekat dengan membiarkan diri ditabrak kereta di kawasan Neustadt am Ruebenburge, distrik pinggiran kota Hannover.

Berbicara di konferensi pers yang diadakan di kantor pusat Hannover 96, istrinya, Teresa mengatakan bagaimana suaminya selama bertahun-tahun mencoba menyembunyikan masalah depresi dideritanya, karena akut kalau ini bisa menghancurkan karirnya dan menyebabkan pihak yang berwenang untuk mengambil kembali anak adopsi mereka, Leila, jika penyakitnya diketahui oleh publik.

Memang menjadi seorang pemain sepak bola tidaklah mudah. Sebagai pelaku utama dalam olahraga yang populer di dunia, apapun yang ada di dalamnya selalu menjadi sorotan banyak orang. Sedikit kesalahan saja, sudah pasti menjadi pemicu datangnya gelombang kritikan yang bertubi-tubi. Seringkali kritikan tersebut datang dari pendukung klub lain yang memang sangat senang melihat kelemahan pemain klub lain terungkap. Tetapi yang lebih menyakitkan, kritikan tersebut juga tidak jarang datang dari fans dari klub pemain itu sendiri.

Fans yang sangat diharapkan bisa memberi suntikan moral ketika sang pemain berlaga, malah seringkali begitu mudah kehilangan kesabaran. Terkadang lupa pada hakekatnya pemain mereka adalah manusia, yang tidak pernah sempurna dan suatu kali pasti melakukan kesalahan. Dalam bayangan, mereka selalu memimpikan sosok pemain yang sempurna, karena itu nampaknya mereka tidak bisa menoleransi kesalahan sedikitpun. Akibatnya sangat jelas, pemain selalu bermain dalam penuh tekanan, takut menjadi menjadi bahan olok-olokan fans mereka sendiri. Memang terkadang ini bisa menjadi pemacu agar pemain itu bisa terus meningkatkan permainannya. Tetapi ini benar-benar membutuhkan kekuatan mental yang luar biasa.

Jika berada dalam kondisi yang sedikit down saja, mental pemain akan begitu mudah runtuh menerima tekanan yang begitu bertubi-tubi dari para fans dan pemilik klub. Terutama di sini berlaku di klub-klub besar. Memang mereka semua merasa telah mengeluarkan banyak uang untuk membuat pertandingan ini bisa berlangsung. Tetapi yang menjadi salah, mereka semua terlalu berharap akan terjadinya suatu pertandingan yang sempurna.

Memang jelas sekali bunuh diri, apalagi meninggalkan seorang istri dan anak, bukanlah solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah seperti ini. Tetapi satu hal yang luar biasa di sini adalah bagaimana seorang Robert Enke yang begitu menderita karena depresi yang dideritanya dan harus berjuang keras menutupinya, masih bisa tampil saat pertandingan dengan begitu gemilang. Bahkan gelar kiper terbaik Bundesliga musim 2008-2009 pun didapatnya, dan saat itu Robert Enke juga dijagokan untuk menjadi kipper utama Jerman di Piala Dunia 2010. Padahal bagi pemain lain, sedikit masalah saja sudah lebih dari cukup membuat penampilannya merosot tajam. Jadi sudah terlihat bagaimana luar biasanya dan begitu profesionalnya seorang Robert Enke.

Sekarang yang patut dilihat apakah kepergian Robert Enke akan menghasilkan perubahan perlakuan pada seorang pemain. Selamat jalan Robert Enke. Bagi kami, engkau selalu menjadi kiper dan figur ayah yang baik.

Water Break, aturan FIFA yang Melindungi Stamina Pemain

February 1st, 2018 Posted by Sport Edu, Sport Science 0 thoughts on “Water Break, aturan FIFA yang Melindungi Stamina Pemain”

GRACE SINAGA

Mahasiswa Kedokteran UNPAD

Water Break adalah sebuah istilah dalam dunia sepakbola yang semakin popular dan familiar bagi masyarakat pecinta sepakbola tanah air. Peraturan Water Break ini mulai secara resmi diberlakukan pada Piala Dunia Brazil 2014 lalu atas permintaan Pelatih tim nasional Italia, Cesare Prandelli. Ia meminta agar Water Break diberlakukan mengingat kondisi cuaca panas dan lembab akan menyulitkan para pemain Eropa yang terbiasa bermain dalam kondisi iklim yang dingin, sehingga mereka rentan mengalami dehidrasi.

Setelah menerima pengajuan itu FIFA langsung melakukan penelitian di Turki dengan mengukur temperatur tubuh pemain selama permainan, dan hasil dari penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Scandinavian Journal of Medicine & Science in Sports. Akhirnya proposal pengajuan Water Break oleh pelatih tim Nasionai Italia tersebut disetujui oleh FIFA dan diputuskan akan memberlakukan pada Piala Dunia Brasil 2014. Dengan persyaratan, water break akan diberlakukan untuk pertandingan yang memilikiœWet Bulb Globe Temperature (WBGT) diatas 32 derajat Celcius, pada setiap menit ke-30 dan 75.

Jadi, apa perlunya ada water break bagi para pemain ?

Ketika beraktivitas fisik, tubuh tentu perlu untuk memproduksi energi yang akan digunakan oleh tubuh dari simpanan energi  utama, yaitu karbohidrat dan lemak. Proses produksi energi ini berlangsung di dalam sel otot, tepatnya  di dalam mitokondria sel. Di dalam mitokondria, lemak atau karbohidrat akan dioksidasi atau dalam istilah yang lebih popular akan di ‘bakar’ untuk menghasilkan molekul energi ATP (adenosin trifosfat) yang merupakan sumber energi di dalam sel-sel tubuh. Proses pembakaran sumber energi (karbohidrat dan lemak) ini agar menghasilkan ATP, sangat tergantung pada molekul oksigen yang tersedia dalam tubuh. Proses penghantaran oksigen ini, dari paru-paru menuju sel-sel tubuh diperantarai oleh pembuluh darah, maka proses pembentukan energi ini sangat tergantung pada jumlah cairan yang cukup yang tersedia dalam pembuluh darah. Selama berolahraga, secara ideal energi harus dapat diperoleh oleh sel-sel otot dengan laju yang sama dengan kebutuhannya. Adanya ketidakseimbangan antara laju pemakaian energi dengan pergantian atau jumlah persediaan  energi akan mengurangi kerja maksimal otot sehingga secara perlahan intensitas olahraga akan menurun dan tubuh akan terasa lelah akibat dari terjadinya ketidakseimbangan neraca energi.

Kehilangan cairan tubuh tersebut, disebut juga dengan dehidrasi, yaitu suatu gangguan dalam keseimbangan air yang disertai “output” yang melebihi “intake” sehingga jumlah air pada tubuh berkurang. Selama olahraga yang berkepanjangan, tubuh dapat mengeluarkan keringat sebanyak 750-2000ml per jam. Secara teori, sebuah olahraga yang durasinya lebih dari 30 menit, maka dianjurkan untuk mengonsumsi air sebanyak 150-350ml per 15-20 menit. Jika dikaitkan dengan water break, di mana salah satu alasan diberlakukannya adalah karena cuaca panas, maka jumlah konsumsinya dapat ditingkatkan lebih dari 350ml. Meskipun yang hilang terutama cairan tubuh, tetapi dehidrasi juga disertai gangguan elektrolit. Tentu kondisi ini tidak bisa diangap remeh apalagi dalam sebuah pertandingan sepakbola yang tentu sangat menguras energi dan stamina pemain. Untuk menghindari kehilangan cairan tubuh (dehidrasi) tersebut, salah satunya adalah dengan minum air, entah itu air putih biasa ataupun sports drink.

 

Air putih atau sports drink ?

Dalam pemaparannya saat peluncuran buku “Petunjuk Praktis Pemenuhan Kebutuhan Cairan Pada Latihan Fisik”, dr. Rachmad Wisnu Hidayat menuturkan ada dua jenis minuman yang direkomendasikan untuk menjaga cairan tubuh. Minuman tersebut adalah minuman sehari-hari (air putih biasa) atau drinking water dan sport drink yang di Indonesia umumnya mengandung isotonik.

“Sekarang yang jadi pertanyaan adalah kapan harus minum air mineral biasa kapan harus minum isotonik?,” ujar Rachmad yang juga menjadi ketua tim editor buku tersebut. Bila melakukan latihan fisik kurang dari 60 menit, maka minuman yang diminum adalah air putih biasa. Untuk latihan fisik lebih dari 60 menit dan intensitasnya tinggi, sangat disarankan untuk mengonsumsi sports drink. Minuman ini mengandung karbohidrat 4-8 persen dan lebih banyak elektrolit. Konsepnya, karbohidrat adalah zat gizi makro yang menjadi sumber energi utama bagi manusia. Karbohidrat adalah zat gizi yang dapat langsung di-convert secara cepat oleh tubuh menjadi sumber energi. Jadi, atlet yang energinya sudah terkuras selama pertandingan dapat langsung mendapatkan pasokan energi “baru”, secara cepat dari karbohidrat. Elektrolit sendiri, terutama natrium, dapat mengganti elektrolit tubuh yang hilang akibat tubuh berkeringat, mempertahankan volume darah sehingga transport oksigen untuk menghasilkan energi tetap terjaga, mengefisiensikan cooling (pendinginan) tubuh, dan membantu penyerapan air dan karbohidrat dalam usus.

 

Menjaga cairan tubuh tetap stabil

 

Dalam buku nya juga, dr. Rachmad membagi pengonsumsian air putih dan sports drink tersebut ke dalam 3 tahapan sesuai intensitas dan waktu latihan, yakni sebelum, saat, dan setelah berolahraga.

 

Sebelum olahraga :
– Minum 500-600 mililiter air putih sebelum latihan
– Usahakan buang air kecil dua jam sebelum latihan. Bila urin kuning tua atau Anda tidak bisa  berkemih artinya Anda harus minum 3-5 mililiter/kilogram berat badan
– Minum 250-350 mililiter air 10-15 menit menjelang latihan.

Saat berolahraga :
– latihan kurang dari 60 menit, minum 100-250 mililiter air putihtiap 15-20 menit
– latihan lebih dari 60 menit, minum 100-250 mililiter sports drink tiap 15-20 menit
– latihan intensitas tinggi selama sekitar 60 menit sports drink

Seusai berolahraga :

Minum 600-700 mililiter air atau sportsdrink setiap penurunan badan 1,5 kg (pastikan Anda menimbang berat badan sebelum dan sesudah olahraga)
– Timbang berat badan dan lihat warna urin untuk mengetahui status hidrasi. Kekurangan cairan harus diganti dalam waktu dua jam pasca latihan

 

Walaupun menurut banyak orang water break banyak dimanfaatkan oleh para penyelenggara pertandingan untuk mempromosikan produk dan meningkatkan brand awareness para konsumen demi mencari kuntungan, yang terkadang membuat pononton yang menyumpah serapahi iklan di televisi, namun bagi penulis, pemain sepak bola adalah aset permainan itu sendiri. Sebab, bukan tanpa dasar FIFA menyarankan water break dilaksanakan selama tiga menit pada setiap babaknya, karena apabila kita kembali ke pembahasan di atas, tentunya para pembaca sadar mengenai manfaat dari minum pada saat berolahraga, tak terkecuali saat pertandingan.

Get in Touch

We'd Love to Hear From You

info@lexsportiva.com

021-2345678

Lex Sportiva Instituta Indonesia