
GRACE SINAGA
Mahasiswa Kedokteran UNPAD
Di tengah kemajuannya, dunia sepakbola memang masih menyelipkan fakta-fakta menyedihkan yang meyayat hati. Tidak semua pemain sepakbola mampu hidup dalam dunia gemerlap yang sangat mewah. Tidak sedikit diantara mereka yang harus hidup dalam tekanan. Hal ini tentu membuat mereka tidak bisa menikmati hidup yang seharusnya menyenangkan tersebut.
Menurut Direktur Medis FIFPro Vincent Gouttebarge, rasa depresi di kalangan pesepakbola itu sangatlah rentan. Pasalnya pemain sepakbola merupakan salah satu profesi yang mendapatkan tekanan dari massa yang sangat besar. Ditambah lagi, sorotan berbagai media membuat tekanan yang mereka alami semakin besar. Hal ini membuat pemain sepakbola sangat rentan mengalami kecemasan-kecemasan. Apalagi bagi para pemain muda, tidak sedikit pemain muda berbakat yang harus gagal dalam karirnya akibat tidak bisa menghadapi tekanan media. Karena itulah, mental menjadi faktor penting bagi pemain sepakbola.
Dalam studi yang dilakukan oleh asosiasi pesepak bola profesional, FIFPro, sebanyak 38 persen dari 607 pemain yang mereka wawancara memiliki masalah depresi dan kesehatan mental. Depresi itu paling banyak khususnya setelah mereka baru saja mendapatkan cedera serius. Penelitian FIFPro itu melibatkan para pemain dan mantan pemain di 11 negara dari tiga benua. Hasilnya memang menunjukkan masalah mental merupakan ancaman tersendiri bagi dunia sepak bola.
Pasalnya, temuan FIFPro menunjukkan 38 persen dari 607 pemain aktif dan 35 persen dari 219 mantan pemain menunjukkan mereka mengalami gejala depresi. Gejala itu berupa kesulitan tidur (23 persen pemain dan 28 persen mantan pemain), stres (15 persen pemain dan 18 persen mantan pemain), hingga penggunaan minuman beralkohol untuk mengatasi depresi (9 persen pemain dan 25 persen mantan pemain). Selain itu para pemain yang mengalami cedera lebih dari tiga kali atau cedera panjang cenderung dua hingga empat kali lebih besar berisiko terseret dalam jurang depresi. FIFPro menyatakan pemublikasian hasil penelitian itu ditujukan agar muncul kesadaran dalam dunia sepak bola untuk menangani secara dini atas risiko masalah mental pesepak bola.
Gangguan mental para pemain sepakbola menjadi sesuatu mimpi buruk bagi yang masih merumput maupun gantung sepatu. Sepakbola Jerman sempat dihebohkan dengan aksi bunuh diri Robert Enke pada tahun 2009.
Sebenarnya, apa faktor yang membuat Enke depresi diam-diam hingga memutus nyawanya sendiri ?
Mungkin kematian Robert Enke adalah tragedi yang paling mengenaskan. Kiper tim nasional Jerman dan klub Hannover 96, meninggal dunia setelah menabrakkan dirinya ke depan kereta yang melaju 160 km/jam di perlintasan Neustadt am Rubenberge, Jerman. Mendengar berita itu semua orang dunia pasti bertanya-tanya kenapa Robert Enke nekat melakukan itu? Padahal selama ini tidak pernah ada berita miring tentang calon kiper nomor satu Jerman di Piala Dunia 2010 ini. Hidupnya juga terlihat baik-baik saja. Karirnya terlihat semakin menanjak. Pemain berusia 32 tahun ini dianggap berada dalam puncak permainan terbaiknya. Berita sempat berhembus kemungkinan dia akan pindah ke Bayern Munich. Robert juga dinobatkan sebagai kiper terbaik 2008-2009. Jelas sekali tidak ada masalah dengan karirnya. Dia juga punya istri yang cantik, rumah dan mobil yang bagus. Apa lagi yang kurang dalam hidupnya?
Momen-momen kunci dalam hidup Enke itu terekam apik dalam buku biografi berjudul ‘A Life Too Short: A Tragic Story of Robert Enke’. Buku ini ditulis oleh jurnalis Jerman, Ronald Reng, Alur di buku A Life Too Short menempatkan kisah hidup Robert Enke ini sebagai seorang pria dipuja-puji publik tapi sebenarnya jauh di lubuk hati ia merasa kesepian.
Depresi berkepanjangan yang melanda hidup Enke disinyalir bermula dari hari-hari buruknya ketika memperkuat Barcelona pada musim panas 2000. Namun, ternyata keputusan pindah ke Barcelona adalah mimpi terburuk dalam kariernya. Enke gagal beradaptasi dengan gaya bermain yang pada saat itu mulai dikembangkan Barcelona, yaitu serangan yang dibangun dari kaki ke kaki dimulai dari penjaga gawang. Dipicu oleh penampilan buruknya ketika Blaugrana kalah memalukan dari Novelda di Copa del Rey dengan skor 2-3, pelatih Louis van Gaal marah besar dan memarkir Enke sebagai kiper saat itu juga sampai musim selesai.
Sebagai seorang kiper, Enke pernah beberapa kali menjadi korban penghinaan yang mana membuatnya merasa sulit untuk menghadapinya. Seperti saat Enke akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran pertandingan pertamanya bersama klub Turki, Fenerbahce, pada tahun 2003, di mana fans melemparinya dengan ponsel dan botol bir setelah dia melakukan kesalahan saat bertanding. Setelah kejadian itu, Enke, mengatakan dia sangat terkejut dengan kemarahan yang dia terima dan merasa tidak sepatutnya mendapatkan kebencian itu.
Tak sukses saat berkarir di Barcelona, Fenerbahce dan Tenerife, Enke membangun karirnya lagi setelah pulang kampung ke Hannover di tahun 2004. Ia bahkan sempat masuk nominasi kiper Jerman untuk Piala Dunia 2006. Gagal menembus skuad Juergen Klinsmann, Enke berhasil meyakinkan pelatih berikutnya, Joachim Loew. Walaupun tidak dimainkan sama sekali, tapi ia terdaftar di dalam skuad Der Panzer di Euro 2008. Bahkan, setelah Jens Lehmann pensiun dari ajang internasional, kesempatan Enke untuk menjadi kiper nomor satu Jerman terbuka lebar, apalagi ia terpilih sebagai penjaga gawang terbaik Bundesliga musim 2008-2009.
Namun siapa sangka, saat itu pula Enke memendam depresi sejak tahun 2003, dan masalah kesehatan mentalnya semakin serius ketika anak perempuannya yang bernama Lara, meninggal dunia di tahun 2006, dalam usia 2 tahun karena gagal jantung. Enke kemudian dilanda perasaan bersalah, namun berusaha menutupinya dengan malang melintang berkarier di Portugal, Spanyol, Turki, hingga kembali ke Jerman. Kondisinya sempat membaik, namun pada September 2009 ia menderita radang usus sehingga membuat depresinya kambuh. Tanpa disangka, rasa nestapa yang kian memuncak itu menggiringnya kepada aksi nekat dengan membiarkan diri ditabrak kereta di kawasan Neustadt am Ruebenburge, distrik pinggiran kota Hannover.
Berbicara di konferensi pers yang diadakan di kantor pusat Hannover 96, istrinya, Teresa mengatakan bagaimana suaminya selama bertahun-tahun mencoba menyembunyikan masalah depresi dideritanya, karena akut kalau ini bisa menghancurkan karirnya dan menyebabkan pihak yang berwenang untuk mengambil kembali anak adopsi mereka, Leila, jika penyakitnya diketahui oleh publik.
Memang menjadi seorang pemain sepak bola tidaklah mudah. Sebagai pelaku utama dalam olahraga yang populer di dunia, apapun yang ada di dalamnya selalu menjadi sorotan banyak orang. Sedikit kesalahan saja, sudah pasti menjadi pemicu datangnya gelombang kritikan yang bertubi-tubi. Seringkali kritikan tersebut datang dari pendukung klub lain yang memang sangat senang melihat kelemahan pemain klub lain terungkap. Tetapi yang lebih menyakitkan, kritikan tersebut juga tidak jarang datang dari fans dari klub pemain itu sendiri.
Fans yang sangat diharapkan bisa memberi suntikan moral ketika sang pemain berlaga, malah seringkali begitu mudah kehilangan kesabaran. Terkadang lupa pada hakekatnya pemain mereka adalah manusia, yang tidak pernah sempurna dan suatu kali pasti melakukan kesalahan. Dalam bayangan, mereka selalu memimpikan sosok pemain yang sempurna, karena itu nampaknya mereka tidak bisa menoleransi kesalahan sedikitpun. Akibatnya sangat jelas, pemain selalu bermain dalam penuh tekanan, takut menjadi menjadi bahan olok-olokan fans mereka sendiri. Memang terkadang ini bisa menjadi pemacu agar pemain itu bisa terus meningkatkan permainannya. Tetapi ini benar-benar membutuhkan kekuatan mental yang luar biasa.
Jika berada dalam kondisi yang sedikit down saja, mental pemain akan begitu mudah runtuh menerima tekanan yang begitu bertubi-tubi dari para fans dan pemilik klub. Terutama di sini berlaku di klub-klub besar. Memang mereka semua merasa telah mengeluarkan banyak uang untuk membuat pertandingan ini bisa berlangsung. Tetapi yang menjadi salah, mereka semua terlalu berharap akan terjadinya suatu pertandingan yang sempurna.
Memang jelas sekali bunuh diri, apalagi meninggalkan seorang istri dan anak, bukanlah solusi yang terbaik untuk memecahkan masalah seperti ini. Tetapi satu hal yang luar biasa di sini adalah bagaimana seorang Robert Enke yang begitu menderita karena depresi yang dideritanya dan harus berjuang keras menutupinya, masih bisa tampil saat pertandingan dengan begitu gemilang. Bahkan gelar kiper terbaik Bundesliga musim 2008-2009 pun didapatnya, dan saat itu Robert Enke juga dijagokan untuk menjadi kipper utama Jerman di Piala Dunia 2010. Padahal bagi pemain lain, sedikit masalah saja sudah lebih dari cukup membuat penampilannya merosot tajam. Jadi sudah terlihat bagaimana luar biasanya dan begitu profesionalnya seorang Robert Enke.
Sekarang yang patut dilihat apakah kepergian Robert Enke akan menghasilkan perubahan perlakuan pada seorang pemain. Selamat jalan Robert Enke. Bagi kami, engkau selalu menjadi kiper dan figur ayah yang baik.
