LexSportiva.co.id – Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) sejak akhir 2017 lalu telah meresmikan beberapa regulasi baru terkait teknis permainan bulu tangkis dan jumlah perlombaan yang wajib diikuti oleh pemain peringkat dunia.
Aturan pertama yakni tentang servis yang dilakukan pemain untuk memulai permainan harus setinggi 115 cm dari rusuk terbawah pemain ke permukaan lapangan. Aturan selanjutnya adalah kewajiban pemain yang berada di peringkat top 15 harus mengikuti minimal 12 turnamen yang diselenggarakan secara resmi oleh BWF dalam setahun. Terakhir, perubahan yang krusial terjadi pada skor pertandingan dari yang awalnya sistem reli poin 21 menjadi hanya 11 dikali lima permainan (set).
Lebih lagi, aturan-aturan tersebut juga berpotensi untuk disegerakan pelaksanaannya pada turnamen yang ada dalam waktu dekat, seperti All England, dan juga kemungkinan dipakai saat perhelatan Asian Games 2018 pada Agustus nanti.
Aturan-aturan tersebut menurut pebulutangkis legendaris sekaligus Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI Susi Susanti akan sulitkan para pemain. Pasalnya, untuk aturan skor yang baru, Susi menilai aturan tersebut terkesan dipaksakan dan akan menghilangkan seni permainan bulu tangkis.
Perlu diketahui, apabila aturan tersebut tetap diterapkan, pemain yang biasanya ‘telat panas’ akan sulit menang, semua pemain akan dipaksa untuk bermain cepat, durasi masing-masing set makin singkat, dan akan menyulitkan pemain-pemain baru yang belum mumpuni untuk mengimbangi lawannya karena akan cepat kalah.
Perubahan tersebut juga akan memengaruhi persepsi penggemar, dengan permainan yang lebih singkat penggemar tidak dapat menikmati tensi tinggi permainan, dan mudah menebak siapa yang akan menang pada pertandingan tersebut.
Aturan selanjutnya yang juga mendapat kritisi dari para pebulutangkis adalah kewajiban mengikuti turnamen resmi BWF sebanyak 12 kali dalam setahun. Pebulutangkis top Malaysia, Lee Chong Wei, mengkritik hal tersebut dikarenakan akan menambah keletihan pemain dan membuat mereka lebih rentan cedera. Apalagi dengan nanti dihelatnya Asian Games, pemain-pemain asal benua Asia yang juga bertanding di turnamen BWF kemungkinan tidak bisa maksimal karena keletihan akibat turnamen-turnamen sebelumnya, atau menyimpan tenaga untuk turnamen setelah Asian Games.
Tentu hal itu akan menyulitkan pemain untuk berprestasi, meskipun kesempatan mengikuti turnamen dibuka lebar, namun hal tersebut cenderung memaksakan para pemain.
Penerapan servis baru mungkin tidak terlalu menyulitkan beberapa pemain, namun pemain bertubuh jangkung akan mendapat kesulitan untuk menyesuaikan dengan aturan servis baru tersebut.
“Ini tujuannya mengawasi servis tinggi. Mungkin awalnya ada pemain-pemain tertentu yang merasa dirugikan dengan aturan yang lama. Servisnya sering di-fault dengan batasan iga terbawah, artinya sesuai dengan antropometri si atlet. Kalau atletnya tinggi seperti (Mads Pieler) Kolding, ya berarti otomatis rusuk terbawahnya juga tinggi. Rusuknya dia akan sedada orang lain, misalnya Kevin (Sanjaya Sukamuljo) yang tidak terlalu tinggi,” ungkap Edy Rufianto, seorang wasit berlisensi BWF yang berpengalaman.
Edy juga mengakui selain menyulitkan pemain berpostur tinggi, justru pemain berpostur lebih rendah diuntungkan. Hal tersebut tidak dapat dikatakan adil juga, sebab aturan sebelumnya juga merugikan pemain berpostur lebih rendah.
Aturan baru, apapun itu, pasti melahirkan pro dan kontra. PBSI yang kontra terhadap hal-hal tersebut rencananya akan melayangkan protes kepada BWF untuk membatalkan aturan-aturan yang menyulitkan pemain. Bulu tangkis sejatinya menjadi permainan yang perlu berjuang untuk menang, bukan sulit untuk dimainkan.